Amir masih saja memandangi foto bapaknya yang telah koyak setelah ibunya membantingnya di depannya tadi pagi, amir tak tahu kenapa ibunya melakukan itu. amir yang masih duduk di bangku SD tak tahu kenapa banyak orang tiba-tiba membicarakan bapalnya, padahal sebelumnya mendengar nama bapaknya di sebut di kampung pun jarang, amir kecil sedikit bangga karena bapaknya tiba-tiba menjadi terkenal, setahu dia bapaknya hanyalah seorang penjual obat herbal itu saja.
"adik kecil ibunya ada?", terdengar suara halus namun terdengar sangat tegas. "ibu..ibu..", sontak amir memanggil ibunya.."ibu ada yang mencari", "siapa amir?", tanya ibunya "ndak tau, mbak-mbk". amir tak mengerti kenapa rumahnya sekarang jadi sering kedatangan tamu.
"ibu, apakah benar suami ibu terlibat jaringan teroris yg melakukanpoengeboman di hotel JW Mariot dan Ritz Carlton?",
"kalian ini siapa? apa maksudnya suami saya terlibat jaringan teroris, ndak ngerti saya",
"kami dari televisi, kabarnya suami ibu terlibat jaringan teroris",
"astagfirullah, saya ndak tahu kalian ini omong apa?"
"apakah bapak pernah membicarakan Jihad kepada ibu?"
"ndak, jihad apa, bapak ndak pernah ngomong apa-apa tentang jihad"
"apakah bapak pernah bilang akan pergi ke jakarta atu ke jogja?"
"ndak, bpak hanya pamitan mau beli obat ke banten itu aja"
"ibu, apakah ibu punya firasat tertentu sebelum bapak pergu, atau perlakuan yg special pada ibu atau anak-anak?"
"bapak cuma pamit aja sebelum pergi, ndak ada firasat apa-apa"
"ibu, kalo bapak bener terlibat dalam jaringan teroris, apa yg akan ibu lakukan?"
"sudah ya, terima kasih...mohon doanya untuk bapak"
"ibu, apa harapan ibu selanjutnya?"
"yang terbaik buat saya"
pertanyaan dari orang-orang tadi benar-benatr mengguncang perasaan ibu. amir hanya bisa menhusap air mata ibunya tanpa pernah tahu apa yg telah terjadi.
"amir, amir belajar yang rajin ya, amir jangan nakal-nakal ya"
amir hanya mengangguk tanpa pernah mengerti kenapa ibunya tiba-tiba mengatakan itu kepadanya.
"ibu, bapak kemana, siapa orang-orang itu tadi, kenapa ibu menangis, apa mereka menyakiti ibu?", rentetan pertanyaan keluar dari mulut kecil amir yg haus akan jawaban dari suasana yang terjadi.
"bapak pergi beli obat nak, buat dijual biar dapat duit"
"duitnya buat beli baju amir ya?"..
"iya nak..", peryanyaan amir semakin membuat hati ibunya hancur, air mata kembali meleleh di pipinya.
"ibu, kenapa ibu menangis lagi?", tanya amir
"ndak apa-apa nak", tak kuasa menahan tangisnya ibu memeluk amir erat-erat.
kerumunan semakin hari senakin rame, orang2 silih berganti berdatangan ke rumah, bahkan halaman depan rumah tetangganya yang biasa untuk bermain amir dan teman-temannya kini telah penuh dengan oarang-orang yg tak dikenal yang sangat penasaran dengan bapak, bapak meamng hebat temannya banyak sekali.
"amir kenapa rumahmu sekarang jadi rame terus?", tanya asrul yag juga sama herannay dengan amir.
"ndak tau as, mereka sejak kemaren sudah datang, mencari bapak".
"bapakmu kenapa memangnya?"
"ndak tau, kata ibu mereka temennya bapak yang mau beli obat"
"bapakmu itu teroris." sahut fauzi tiba-tiba.
"apa itu teroris?", tanya asrul.
"kata abah sih orang yang suka bikin bom gitu, yang suka bunuh orang"
"ah, gak mungkin, bapaknya amir kan orangnay baik." asrul mencoba untuk membela amir.
"bapakku bukan teroris", amir membela diri.
"kalo bukan teroris kenapa bapakmu ga pulang-pulang, pasti bapakmu sudah di tangkap polisi", fauzi kembali mencoba menyudutkan amir.
"kalo bapakku teroris kenapa ndak ngebom kamu?", amir kembali membela bapaknya.
"amir, lihat deh orang-orang itu, mereka mencari bapakmu bukan karena mereka mau membeli obat, tapi karena mereka ingin tau sendiri kalo bapakmu itu teroris, mereka itu wartawan."
"ndak, bohong kamu bapakku bukan teroris....", amir meghardik fauzi.
kata-kata fauzi betul-betul memukul perasaan amir, apakah benar bapaknya nmenjadi teroris, menjadi pembunuh, kenapa bapaknya melakukan itu, apa bapak tidak tahu kalo dirumah banyak orang mencari bapak, apa bapak tidak tau bagaimana rasanya menjadi anak seorang teroris. pertanyaan itu terus menghantui amir, memangnya salah ya kalo bapakku seorang teroris, yang troris kan bapak ku bukan aku, kenapa mereka marah padaku.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar